
TANGERANG, Sejatinya, kehidupan manusia di muka bumi hanya menjalani rangkaian waktu yang terus bergulir tiada henti. Mulai dari detik ke detik menjadi semenit, dari menit ke menit menjadi sejam, dari jam ke jam menjadi sehari, dari hari ke hari menjadi sepekan. Lalu, empat pekan menjadi sebulan dan dua belas bulan berlalu menjadi setahun.
Artinya, hidup ini adalah soal waktu. Sejak saat kelahiran, lalu mengarungi kehidupan dan berujung kematian. Ketika batas akhir waktu (ajal) tiba, maka berakhir pula masa hidup di dunia dan akan berlanjut ke alam barzakh untuk menanti kehidupan akhirat (QS al-Jum’ah [62]: 8).
Setiap manusia diberi rezeki yang berbeda, kecuali hanya satu, yakni waktu (al-waqt). Siapa saja tanpa kecuali, baik raja ataupun rakyat jelata, pengusaha ataupun orang biasa, diberi waktu yang sama, yakni satu menit 60 detik, satu jam 60 menit, satu hari 24 jam, satu pekan tujuh hari, dan satu tahun 365 hari.
Oleh karenanya, setiap orang punya kesempatan yang sama untuk meraih kejayaan. Jika pandai mengelola waktu maka ia akan beruntung. Namun, jika lalai maka akan sengsara sepanjang hayat (QS al-Ashr [103]: 1-3).
Kini, kita berada di pengujung tahun 2023 dan akan memasuki 2024. Kemarin hanya kenangan yang tak mungkin terulang. Sekarang adalah kesempatan untuk menambah amal kebaikan. Esok sebuah harapan yang belum tentu menjadi kenyataan.
Jika rencana hidup sudah direalisasikan, maka akan membawa keberuntungan. Namun, jika disia-siakan tentu hanya akan meninggalkan penyesalan.
Nabi Muhammad SAW berpesan, ”Orang yang cerdas adalah mereka yang mempersiapkan diri dan beramal untuk hari setelah kematian. Sedangkan, orang bodoh adalah mereka yang mengikuti hawa nafsu namun berangan-angan dengan Allah.”
Diriwayatkan dari Umar bin Khattab, dia berkata, “Hitunglah diri kalian sebelum kalian dihitung dan persiapkanlah untuk hari semua dihadapkan (kepada Rabb Yang Mahaagung). Hisab akan ringan pada hari kiamat bagi orang yang selalu menghisab dirinya ketika di dunia.” (HR Tirmidzi).
Secara harfiyah, hisab artinya menghitung, mengkalkulasi, dan memperhitungkan. Jika dilakukan terhadap sesuatu yang lalu disebut evaluasi dan untuk masa depan dinamakan proyeksi.
Keduanya mesti dilakukan bersamaan agar kinerja dan pencapaian hari ini lebih baik (beruntung) dari kemarin, bukan sama (rugi), apalagi lebih buruk (terhina). Demikan petuah bijak yang disandarkan kepada Imam Ali bin Abi Thalib RA.
Allah SWT berfirman, ”Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat). Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.” (QS al-Hasyr [59]: 18).
Prof Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar menegaskan, “Dengan takwa itulah iman dipupuk terus. ‘Dan hendaklah merenungkan setiap orang’ artinya bawa berpikir, bawa merenung, bawa bermenung, tafakkur dan tadzakkur (memikirkan dan mengingat). ‘Apalah yang telah diperbuatnya untuk hari esok’. Hari esok adalah hari akhirat. Hidup tidaklah akan disudahi hingga di dunia ini saja. Dunia hanyalah semata-mata masa untuk menanam benih. Adapun hasilnya akan dipetik di hari akhirat. Renungkanlah oleh setiap diri apalah yang telah lebih dahulu diamalkan untuk didapati di akhirat itu kelak?”
Setidaknya, kita perlu merenung diri dalam empat aspek.
Pertama, hisab fisikal (jasmaniyah). Islam menyuruh umatnya menjaga diri, khususnya kesehatan badan dengan sikap dan tindakan yang tepat agar mampu menjalankan amanah kepemimpinan dengan baik.
Hidup sehat adalah sunnah Nabi SAW melalui olah makan, raga, pikiran, dan perasaan. Termasuk pula capaian pekerjaan atau kekayaan yang diperoleh melalui jalan halal atau haram (zalim). Tidak hanya mencapai target keuntungan, tetapi juga bagaimana cara mendapatkannya (QS al-Baqarah [2]: 168).
Kedua, hisab sosial (ijtima’iyah). Mestilah setiap insan melakukan hisab sosial, yakni menakar kualitas relasi (silaturahim-relationship) dengan istri dan anak, kedua orang tua, kerabat, guru, sahabat, dan masyarakat.
Apakah jalinan kasih, sinergi, dan kolaborasi semakin meningkat dan produktif atau sebaliknya. Kualitas hidup seseorang diukur dari kebermafaatan diri di tengah orang yang dicintai dan mencintainya serta mereka yang menjadi jembatan kesuksesan (QS an-Nisa'[4]: 36).
Ketiga, hisab intelektual (’ilmiyah). Selanjutnya, aspek yang sangat penting dievaluasi adalah peningkatan keilmuan dan keahlian dalam beragama dan berbagai bidang pekerjaan atau keterampilan hidup (life skill).
Belajar adalah kewajiban bagi setiap Muslim, baik secara formal maupun nonformal. Sebab, kualitas dan kesejahteraan hidup berkaitan dengan ilmu pengetahuan dan pengalaman.
Kesadaran literasi dan berguru kepada ulama menjadi ukuran akan peningkatan intelektualitas (QS az-Zumar [39]: 9).
Keempat, hisab spiritual (ruhaniyah). Last but not least adalah merenung akan kualitas jiwa (kalbu) yang mewadahi iman. Kesungguhan dan kemauan dalam menjalankan perintah Allah SWT bdan menjauhi larangan-Nya, shalat berjamaah ke masjid, tilawah Alquran, istiqamah menjalankan ibadah fardhu dan sunnah, terutama bangun di pengujung malam untuk taqarrub ila Allah (QS Ali Imran [3]: 15-17).
Walhasil, merenung diri (muhasabah) adalah sikap dan tindakan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas kebaikan diri pada masa yang akan datang. Bercermin ke masa lampau untuk menatap jauh ke masa depan.
Orang bijak berktata, “Kamu tidak akan pernah dapat mengambil pelajaran sedikit pun dari kehidupan, jika memiliki keyakinan bahwa kamu selalu benar.”
Selamat Tahun Baru 2024 Miladiyah. Allahu a’lam bish-shawab.